Hari ini…
14 Januari.
Rukia mengatupkan kedua tangannya dan berlutut di depan tiga gundukan tanah—makam teman-temannya, berdoa memohon kebaikan bagi mereka yang telah tiada.
Selesai bedoa, dia buka kedua matanya, menatap ketiga gundukan itu. Ia dapat membayangkan ketiga teman-temannya itu sedang tertawa gembira—seperti dulu ketika mereka masih hidup bersama.
“Hey, kalian tahu? Aku sangat merindukan kalian…”—dan seseorang…
Kemudian perempuan itu menatap langit biru yang sangat cerah hari ini. Rukia menyunggingkan sebuah senyuman, dia merasa dirinya sangat senang. Bukan karena Byakuya—yang telah memberikan sebuah kata singkat tentang ucapan selamat, ataupun Renji—yang memberikannya shiratama tadi pagi. Tetapi sesuatu hadiah lain yang berbeda, hadiah sederhana yang masih membekas di hati seorang Rukia Kuchiki.
14 Januari—tahun yang berbeda.
.
.
_A
Happy Birthday Greeting for Rukia_
.
_o0o_
Sepucuk
Daun
_o0o_
.
Genre: General/Romance
Rated: T-
Bleach © Kubo Tite
Bel berdering nyaring beberapa kali menandakan sudah
berakhirnya jam pelajaran terakhir hari ini. Seperti hari-hari biasanya, hari
ini pun masih tetap sama. Para murid perlahan
berlalu meninggalkan gedung sekolah itu, hanya tinggal beberapa orang yang
masih tinggal. Seperti dua orang di dalam kelas ini, Rukia dan Ichigo.
“Rukia, kau masih ingin tinggal di sini?”
Rukia yang termangu di dekat jendela hanya menggeleng
lemah, ia merindukan suasana di Soul Society kali ini. Entah mengapa, Rukia
begitu merindukannya. Melihat Rukia yang seperti tu, Ichigo hanya menghela
napas panjang. Pemuda berambut senja itu perlahan mendekati tempat Rukia,
dilihat punggung kecil perempuan itu yang sepertinya terlihat sangat lelah.
“Rukia…” Perempuan itu menoleh dengan wajah sayu,
dengan satu tarikan napas Ichigo hampir berteriak. “Aku akan mengajakmu pergi
ke suatu tempat!”
_o0o_
Rukia berjalan di belakang Ichigo, kepalanya sedari
ditundukkan melihat bayangan dirinya yang dibuat oleh sinar matarahi senja.
Entah kemana Ichigo membawanya pergi, perempuan itu hanya mengikuti kaki Ichigo
yang sedari tadi melangkah tanpa henti. Merasa heran. Rukia mendongakkan
kepalanya dan langsung bertatapan dengan wajah Ichigo yang diterpa cahaya
mentari senja. Ia terpesona. Tanpa sadar—sambil berjalan dia memperhatikan
Ichigo terlalu lama sampai Ichigo menoleh dan tersenyum.
“Apa yang kau lihat, heh?” pemuda itu mengetuk dahi
Rukia pelan.
“Ouch!” Rukia terkejut sambil memegangi dahinya,
pipinya sedikit memerah.
Ichigo menolehkan lagi pandangannya ke arah jalanan dan
melanjutkan perjalanannya, Rukia sedikit masih memperhatikan Ichigo. Apakah dia
benar-benar tertarik dengan bocah senja ini? Ah, mana mungkin.
.
.
Mereka berdua sampai di pinggiran sungai yang lumayan lebar,
langit sudah berubah agak kemerahan saat mereka datang dan berdiri di pinggir
sungai itu. Ichigo beranjak duduk setelah mengambil sebuah daun dari
semak-semak. Rukia masih berdiri—memandang dengan takjub sungai yang berkilauan
di hadapannya, juga pemandangan langit lembayung kemerahan menjadi yang
memantul di air bening sungai itu.
“Hei, duduklah…”
Tanpa Rukia sadari, Ichigo tersenyum lembut sekilas
padanya. Perempuan itu menoleh mendapati Ichigo yang sedang mendekatkan
selembar daun ke bibirnya. Perlahan terdengar alunan nada yang dibuatnya,
seperti tiupan angin yang bersuit-suit tetapi berirama. Lantunan lagu yang
belum pernah didengar Rukia sebelumnya itu menjadi satu-satunya suara yang ia
dengarkan.
Rukia terduduk di rerumputan—tidak jauh dengan Ichigo.
Matanya ingin sekali terpejam menghayati lagu yang diperdengarkan Ichigo itu,
tetapi pemandangan langit indah merah keemasan di hadapannya tak mungkin ia
lewatkan begitu saja. Lantunan lagu aneh ini menyihirnya untuk tetap diam dan
dengar. Di dalam hatinya sedang bertanya-tanya.
Adakah orang yang membuat sebuah nada dengan sebuah
daun?
Mungkin seorang yang ada di hadapannya saat ini adalah
salah satunya.
Ah, Ichigo. Sepertinya seorang gadis Kuchiki ini
benar-benar yakin bahwa ia tertarik padamu. Mata amesthys-nya mengikuti
lambaian daun yang terlepas dari bibir Ichigo sampai mengambang di air sungai—di
bayangan mentari senja yang sedikit lagi tenggelam. Rukia tersenyum,
kerinduannya pada sungai di desa Rukongai sedikit terobati dengan melihat
pemandangan itu.
Rukia melepas semua alas kakinya, berjalan pelan
menuruni pinggiran kemudian memasukkan kakinya ke dalam air sungai yang
dangkal.
Langit setengahnya berubah menjadi biru tua kehitaman,
memperlihatkan hiasan langit yang berkelip-kelip menantikan datangnya malam.
Ichigo masih memandang Rukia yang sedang bermain-main dengan riak air di
pinggir sungai. Perempuan itu menangkup daun yang mengambang dengan kedua
tangannya, diangkat tangannya itu hingga tetesan-tetesan air yang merembes dari
celah-celah jari tangannya.
Untuk pertama kalinya, Ichigo melihat sebuah
pemandangan indah yang begitu—sangat memikatnya. Benar yang diceritakan oleh
Renji pada saat itu, pantas saja dia bisa begitu mengorbankan segalanya untuk
Rukia. Demi gadis yang sedang tersenyum gembira, menghilangkan mata
kesedihannya—setidaknya untuk sementara ini.
Ichigo melepas semua alas kakinya dan menggulung celana
panjangnya, lalu tanpa sadar menceburkan kakinya mendekati Rukia. Dia berdiri
di samping perempuan kecil itu, memandang dengan penuh perasaan yang tak bisa
digambarkan.
“Rukia, apa kata-kata yang bagus untuk mengatakan
selamat ulang tahun?”
Rukia yang menoleh sejak namanya terpanggil hanya
tersenyum lembut. Seorang Kurosaki Ichigo memberikannya hadiah sederhana, bukan
Ishida yang memberinya boneka berbentuk kelinci lucu, bukan pula Inoue yang
memberikannya sebuah coklat. Hanya sebuah daun yang begitu membuatnya merasakan
kembali rasa nostalgia. Ia sangat berterima kasih dengan hal itu.
Perlahan tangan pemuda Kurosaki itu menjalar ke kedua
telapak tangan Rukia yang masih menggenggam daun, saling menautkan jari-jemari
mereka. Hingga daun itu terjatuh kembali ke atas air, mengambang dengan
bergoyang-goyang mengikuti arus sungai.
Mereka saling mendekat, membuat bayangan hitam yang
menutupi pemandangan senja yang telah tenggelam. Sepucuk daun yang menjadi
satu-satunya saksi bisu penutup kisah mereka hari ini. Ya, terima kasih untuk
daun itu.
‘Terima
kasih untuk hadiahmu, Ichigo…’
.
.
_o0o_
Rukia masih tersenyum, ada sedikit warna merah yang
tersamarkan di sana.
Ia masih mengingatnya dengan jelas.
Angin berhembus kencang menerbangkan cabang-cabang
rerumputan di sekitar gadis itu, sampai angin itu mereda dan menjatuhkan sebuah
daun ke pangkuannya. Ia menangkupnya, menggengam lalu mendekap erat di dadanya.
Samar-samar ia masih bisa mendengarnya, bisik-bisik cinta yang merasuk dalam
ucapannya waktu itu. Perlahan semakin jelas dan terdengar.
Hey, apakah dia sedang bermimpi?
Tiba-tiba ada tangan besar yang memeluknya dari
belakang, Rukia sangat mengenalnya. Harum ini, rasa ini, dan juga debaran yang
selalu ada pada saat pemuda itu berada di dekatnya. Angin berhembus lagi,
menerbangkan daun yang sebelumnya ada di dalam tangkupan kedua tangannya.
“apa kau menginginkan hadiah yang sama, eh?”
Oh, lihat. Sepertinya pemuda itu telah berubah menjadi
seorang perayu handal, ya, perayu yang selalu bisa membuatnya meleleh seperti
lilin.
Tetapi dengan itu, ia bisa merasakan hadiah terindah
yang belum pernah gadis itu rasakan di sepanjang hidupnya yang lalu.
Dan mungkin kali ini—sekali lagi ia dapat merasakannya.
.
.
Aku
cinta kamu
Tiga kata yang tak mampu diungkapkannya walau dengan
bisikan kecil, pemuda itu hanya dapat melakukan sesuatu yang lain. Entah sebuah
pelukan, mengelus rambut hitam gadis itu ataupun sebuah… kecupan?
Yah, tidak apa-apa.
Kalau dipikir itu adalah hal yang lumayan manis.
Seperti yang dilakukan mereka berdua di sini, pemuda
itu sedang memberikan hadiahnya.
.
.
“O-tanjōbi
O-medetō, Rukia…”
.
.
.
Owari
.
0 komentar:
Posting Komentar