Ada yang pernah mengatakan sesuatu
padaku, tentang kasih sayang ibu dan seseorang. Seseorang yang sudah
ditakdirkan untuk kita cintai dengan kesungguhan hati, entah berapa lama saling
mengenal—juga bagaimana menjalin sebuah ikatan itu. Kasih sayang itu bukan
cinta. Kasih sayang adalah sesuatu yang berharga, seperti air yang selalu
dibutuhkan. Sayang itu tidak perlu mencintai, hanya memberi dan berkorban.
Rasa sayang akan berkata; "Aku
sayang dia bukan karena dia sayang aku, aku sayang dia karena aku sayang dia.
Walau dia tidak sayang, aku akan tetap menyayanginya."
Kasih sayang itu dapat terus aku
rasakan, tidak hilang ataupun terbuang. Begitu pun rasaku padanya, meski ini
hanya ikatan tak bernama. Tak perlu kukatakan kalau aku menyayanginya sepenuh
hati, karena aku tak ingin dia merasa kehilangan rasa sayang nanti—jika aku
benar-benar akan pergi.
Dan untuk saat ini dan selamanya,
aku akan terus menyayanginya.
Meski raga ini sudah menghilang
nanti…
.
.
.
Tap! Tap! Tap!
"Kurosaki! Kau mau kemana
lagi?"
Seorang pemuda berkacamata berlari
mengejar pemuda yang dipanggilnya Kurosaki. Pemuda itu sudah meneriakinya
berulang kali, namun sang pemuda Kurosaki tetap berjalan tak memperdulikannya.
Hingga pemuda Kurosaki itu menghilang di balik tikungan, dia berhenti. Dua pengawal
yang mengikuti di belakangnya pun ikut menghentikan langkah mereka—menunggu
aba-aba dari si pemuda berkacamata.
"Bagaimana ini,
Uryuu-sama?" Uryuu tidak menjawab pertanyaan dari salah satu pengawal itu,
dia hanya mendesah kemudian membalikkan tubuhnya.
"Biarkan saja. Mengekangnya
hanya akan membuat dia semakin sulit untuk diatur."
Uryuu mulai berjalan. Dia menghela
napas panjang, dirinya sudah lelah menasehati pemuda Kurosaki yang keras kepala
itu. Ia tahu, sangat tahu mengapa pemuda itu selalu menolak segala perintahnya.
Ia tahu apa yang membuat pemuda Kurosaki itu tidak tenang sejak 5 bulan yang
lalu, dan juga tentang semua masalah yang membelenggu pikiran pemuda itu saat
ini. Karena ia tahu, dan benar-benar tahu.
"Dasar anak itu!"
.
.
.
Pemuda Kurosaki itu berjalan di
pinggiran jalan yang agak ramai, ia berjalan perlahan tanpa arah tujuan yang
jelas. Pikirannya terus terbayang oleh percakapan seorang dokter dan ayahnya
yang tak sengaja ia dengar.
"Maafkan saya, Kurosaki-san.
Penyakit itu sudah menyebar, dan waktunya pun semakin dekat."
"Tak bisakah kau
menghentikan semuanya! Dia itu anakku! Ichigo!"
"Kita tidak bisa melakukan
apapun, Kurosaki-san. Terkecuali, menunggu keajaiban datang…"
Dan hal terakhir yang dilihat pemuda
senja itu hanya air mata yang perlahan meleleh di sisi wajah ayahnya. Benarkah
itu? Benarkah semua yang didengarnya itu nyata? Ia tak mungkin bisa mengelak
lagi. Pemuda itu menghentikan langkahnya, menunduk sebentar lalu mendongakan
kepalanya menatap langit.
Langit suram, sama seperti hatinya
saat ini. Mata sendu pemuda itu masih terbayang-bayang takdir kejam yang
bersiap untuk menyambutnya. Tak bisakah ia mengubahnya? Atau setidaknya
mengulur waktu itu. Ini sama seperti saat ia kehilangan ibu yang paling ia
sayangi 7 tahun lalu, dan itu terlalu tiba-tiba untuknya. Begitu juga dengan
hal ini. Dia belum siap, dan tidak akan pernah siap. Meski ia bahagia bisa
menyusul ibunya, tapi tetap saja sulit.
Matanya panas dan agak berair,
haruskah ia menjatuhkannya hanya untuk hal seperti ini?
Ini basah. Bukan, bukan genangan
bening dari kedua kelopak matanya. Ini hujan. Ya, hujan sudah menggantikan
tangisannya. Dia tak peduli dengan orang-orang yang berlarian untuk mencari
tempat berteduh di sekitarnya, ia hanya ingin merasakan hujan—yang sedang
menangis bersamanya saat ini.
.
.
.
Sepi. Langit masih begitu gelap,
walaupun hujan sudah berhenti. Ichigo masih berdiri dengan pakaian basah, napas
hangatnya membentuk uap. Hujan sudah cukup membuat tubuhnya kedinginan, tapi
tetap tak bisa meluruhkan kegalauan di dalam hatinya. Ah, rasanya begitu
menyesakan. Udara terasa semakin dingin, ia butuh sedikit kehangatan sekarang.
Ah, ibu… Ia rindu. Pemuda itu mulai berjalan, mencari bunga untuk ditaruh di
makam ibunya nanti. Mawar Putih, sebuah bunga yang sangat disukai ibunya. Tapi,
ini masih musim dingin. Di mana ia bisa mendapatkan bunga itu?
Suasana berubah agak ramai ketika ia
berjalan melewati daerah pertokoan. Di sana, matanya mendapati sebuah
pemandangan. Di depan sebuah toko bunga, seorang gadis berambut hitam sebahu
sedang berdiri menenteng keranjang berisi mawar putih. Ah, mawar di musim
dingin—mungkinkah bisa menjadi sebuah keberuntungan? Ichigo memperhatikan tak
jauh darinya. Gadis itu sedang memberikan setangkai mawar pada seorang anak
kecil yang meminta mawar tersebut. Dengan senyuman yang sangat ramah,
diserahkan setangkai mawar itu sambil membungkuk.
Gadis itu kembali berdiri dan
menawarkan mawarnya kepada orang-orang yang sedang berjalan. Dilihatnya mawar
di keranjangnya tersisa tiga. Lalu sepasang kakek-nenek menghampirinya dan
meminta bunga mawar miliknya. Ichigo melangkah menghampiri gadis itu begitu
melihat sisa mawar di keranjangnya.
"Nona, boleh aku meminta mawar
putihmu itu?" tanya Ichigo pada gadis itu yang sedang berdiri
membelakanginya.
"Ah, tentu saja." Jawab
gadis itu tanpa melihat Ichigo. Dia mengambil sisa mawarnya dan berbalik untuk
memberikannya pada Ichigo. Namun ketika Ichigo melihat gadis itu menatap ruang
kosong di samping kirinya, ia merasa heran. "Tuan, boleh saya tahu anda di
mana?"
.
.
.
Apakah dia… buta?
_Two-shot
Fiction for St. Valentine's Day and White Day_
.
.
_o0o_
Something
Dearest
_o0o_
.
.
Warning:
AU (Alternate Universe), OOC
(Out of Character), Bad Plot, Chara Death.
Genre:
General/Romance
Bleach
© Kubo Tite
.
Sayaka
Ozaki / OzyJuliette Present
Gadis itu…
Tatapan kelabunya tertutupi,
Oleh senyuman yang tak pernah lepas
dari wajahnya.
Sadar saat itu aku terpesona…
.
.
11 Februari
.
"Tuan, apakah tuan mendengar
saya?" pertanyaan gadis itu membuyarkan lamunannya. Ichigo dengan cepat
mengambil mawar yang ada di tangan gadis itu, tangannya yang dingin menyentuh
hangat telapak tangan gadis itu. Ada sesuatu yang tiba-tiba merambat masuk ke
dalam hatinya saat ini. Ia tak tahu apa itu, tapi hal itu terasa menyenangkan.
Perlahan sentuhan itu menjauh, gadis itu menyunggingkan senyuman lembutnya
lagi.
"Terima kasih…" gadis itu
berucap tanpa membiarkan senyumannya hilang. Ichigo berharap, sangat berharap
bisa membalas senyuman yang ditunjukkan gadis itu kepadanya. Perlahan, secara
perlahan ia membiarkan bibirnya bergerak melawan gravitasi. Namun… Titik-titik
hujan itu kembali menghujam bumi. "Ah, hujan lagi…"
Gadis itu meraba-raba dinding di
samping kirinya, dia berusaha menemukan pintu kaca untuk masuk dan berteduh.
Melihat itu, Ichigo membantunya. Tangan besarnya menuntun tangan mungil gadis
itu memasuki toko. Mawar putih yang ada dalam genggamannya ia biarkan jatuh ke
jalanan yang mulai basah. Bibir yang tadinya akan membentuk sebuah senyuman
kini luruh dan berubah datar. Oh, hujan. Mengapa kau buat kebahagiannya
terenggut oleh titik-titik airmu?
Krinting… Krinting…
Lonceng yang ada di atas pintu
berbunyi ketika Ichigo membuka pintu toko itu, cukup membuat kebisingan di
tengah kesunyian di sana. Toko ini adalah toko bunga, dia bisa menyebutnya
begitu karena yang dilihatnya hanyalah bunga-bunga dalam keranjang—yang disusun
pada rak-rak rendah dan satu rak tinggi di bagian belakang. Ruangan ini menguarkan
wangi-wangi bunga yang ada di dalamnya, dirinya jadi terhanyut.
"Terima kasih sekali lagi,
tuan…" Dilihatnya gadis itu tersenyum lagi. Hujan di luar begitu deras,
tapi di sini ada sebuah kehangatan yang mampu menyelimutinya. Kehangatan yang
sama seperti ia menatap ibunya sendiri.
"Kurosaki Ichigo." Dia
menuntun gadis itu duduk di salah satu kursi dekat meja kasir, tak ingin
melepas genggaman pada gadis itu walau hanya sedetik. Rasa kecewa menyergap
hatinya ketika gadis itu sudah duduk dengan nyaman di sana—berarti ia harus
melepas tangannya dari gadis itu. "Itu namaku. Panggil saja Ichigo,"
"Baiklah, Ichigo." Jawaban
gadis itu menyadarkannya, ia terkejut. Padahal banyak orang yang ia kenal
memanggilnya dengan nama keluarga atau memanggil namanya tapi dengan
embel-embel –sama, tapi, mengapa pemuda itu bisa meminta gadis yang baru saja
ditemuinya ini memanggil dia dengan namanya?
"Namaku Kuchiki Rukia, kau
boleh memanggilku Rukia jika kau mau…"
Ah… Rukia, nama yang indah. Ingin
dia menyebutkannya, tapi ada sesuatu yang menghambat jalur suaranya. Entah
karena apa, ia jadi begitu sulit untuk berkata. Ichigo berdiri di samping gadis
itu—Rukia, hanya melihat dan mendengar hujan dari jendela kaca toko. Biarlah
hujan terus seperti ini, agar dia bisa bertahan lebih lama dengannya. Hilang
sudah rencana untuk berkunjung ke makam ibunya, dan itu karena satu alasan.
Untuk gadis ini.
Ichigo memandang Rukia penuh, dari
mulai lekukan wajahnya yang tirus, helaian rambut yang membelah kedua matanya,
dan juga mata berlian amesthyst-nya. Sayang sekali, mata indah itu tak
bisa berfungsi sebagaimana mestinya.
Padahal pemuda senja itu kaya raya,
dia bisa mendapatkan dengan mudah gadis yang lebih cantik di luar sana. Tapi
dia malah bertahan di sini dengan seorang gadis seperti Rukia—yang tak bisa
melihat. Ah, dirinya sendiri pun bertanya-tanya mengapa. Dan ia sudah
memikirkannya, ini adalah takdir—dan ia tak akan bisa mengelak.
Oh, Tuhan. Rencana apakah yang sudah
kau tentukan? Mengapa kau buat semuanya menjadi mungkin?
Perasaan yang sebelumnya terhimpit
gelisah, kini segalanya menjadi baik-baik saja ketika ia bertemu dengan gadis
ini. Ichigo hanya bisa menghirup wangi bunga dan juga harum tubuh Rukia yang
menguar tanpa henti. Wangi mawar putih tercium sangat jelas di sana, indah dan
menyegarkan.
Mawar putih yang sama-sama disukai
orang dua orang perempuan yang begitu disayangi pemuda itu dalam hidupnya;
ibunya dan gadis ini. Tidak perlu waktu untuk menyayangi, takdir akan
mengatakannya sendiri. Begitulah yang sedang dirasakan oleh Ichigo saat ini.
Perasaannya berkata demikian, kasih sayang tulus untuk gadis ini.
Ah, Ibu… Bolehkah pemuda itu
membagikan rasa sayang selain kepadamu?
"Rukia…" Gadis itu menoleh
ke arah suara yang memanggilnya, tetapi mata itu tetap tak bisa melihat ke arah
wajah Ichigo. "Apakah kau menyukai mawar putih?"
"Ya, aku sangat
menyukainya." Senyuman terkembang di bibirnya, sangat jelas terlihat
kebahagiaan ketika ia menjawabnya. "Tapi sayang sekali, mawar putih di
toko ini sudah habis—tidak ada yang tersisa."
Ichigo terdiam. Jadi, mawar yang ia
dapatkan tadi adalah benar-benar mawar terakhir di toko ini. Mawar putih yang
ia biarkan jatuh dan terbasahi air hujan di luar sana. Oh, rasa sesal merasuk
tiba-tiba ke dalam hati.
"Apakah tak apa tadi kau
membagikannya?"
"Tidak apa-apa. Toh, pengantar
bunga akan membawanya 2 minggu lagi."
Ichigo menghela napas. Entah mengapa
pikirannya melayang jauh, membawanya kepada beberapa hari yang akan datang. 3
hari lagi, 14 Februari untuk tahun ini. Hari kasih sayang—dimana semua pasangan
bersuka cita membangun kebahagiaan setidaknya khusus untuk hari itu. Memang, ia
tak pernah peduli dengan banyak gadis yang mengiriminya surat, coklat, bunga
atau hadiah lainnya di hari itu. Tapi, di saat seperti ini, dia akan melakukan
apapun demi membahagiakan gadis ini. Dan dia tahu hanya satu; White Rose
jawabannya.
"Kau menyukai bunga itu
juga?"
"Ah, sepertinya begitu…"
Pemuda itu melangkah menuju jendela kaca. Hujan sudah bersenandung kecil.
Titik-titik air itu kini perlahan mereda, menyisakan beberapa genangan air di
jalanan. Awan-awan kelabu menyingkir memperlihatkan cahaya keemasan yang
membelah langit. Tak terasa senja sudah datang menyambut, inikah perpisahan
untuk hari ini? Mengapa waktu cepat sekali berlalu?
"Kenapa sepertinya?"
'Karena aku sudah menemukan bunga
itu disini…'
Ichigo tidak menjawab. Belum
saatnya, karena ia tak ingin Rukia menganggapnya sama seperti pemuda di luar
sana yang dengan mudahnya mengatakan perasaan; cinta, suka dan sayang. Dia
butuh waktu, setidaknya sebentar saja agar Rukia terbiasa dengannya. Tapi,
begitu Ichigo tersadar, ia harus menerima kenyataan bahwa waktunya memang hanya
tersisa sedikit—untuk bersamanya.
"Mau kuantar pulang?"
.
.
.
Langkah kaki mereka berpadu, Ichigo
menggenggam tangan hangat itu lagi, menuntun Rukia yang sedang menghafal letak
rumahnya. Tadinya gadis itu menolak, ia sudah mempunyai sebuah tongkat untuk
menemaninya. Tapi, tetap saja pemuda itu keras kepala tidak mau melepasnya
dengan berbagai alasan. Tanpa Ichigo sadari gadis itu tertawa kecil, belum
pernah ada seorang pemuda yang begitu perhatian terhadapnya—setelah kejadian
yang membuat kedua matanya buta. Bahkan keluarga angkatnya pun—ah… masa lalu
kelam itu terulang lagi dibenaknya.
"Kita sudah sampai,"
Ichigo mendongak, rumah yang cukup
sederhana dengan 2 lantai. Rumah dengan tembok bercat putih lusuh yang
dikelilingi oleh pagar pembatas, suasana di dalam sepi dan gelap. Sepertinya
Ichigo ragu kalau yang dilihatnya ini adalah tempat tinggal Rukia. Mana mungkin
seorang gadis yang tidak bisa melihat tinggal sendirian di rumah yang cukup
besar ini?
"Kau yakin ini rumahmu, Rukia?
Sepertinya tidak ada orang di dalam sana."
"Ah, mungkin temanku belum
pulang. Tenang saja, ia akan kembali sebentar lagi." Rukia perlahan
melepaskan telapak tangannya walau sedikit enggan, begitu pun dengan Ichigo.
Tapi apa boleh buat, mereka hanya berharap bisa bertemu kembali. "Sudah
saatnya kau kembali, Ichigo. Terima kasih…"
Gadis itu berjalan dengan tongkatnya
masuk ke dalam rumah. Ah, andai saja dia bisa melihat.
Saat ini…
Apa dia tahu?
Ichigo sedang tersenyum.
.
.
.
Aku bertemu denganmu baru satu kali,
Tapi aku merasa mengenalmu selama
bertahun-tahun.
Apakah ini yang dinamakan takdir?
.
.
12 Februari
.
"Kurosaki!"
Teriakan itu selalu menyahutnya saat
ia membuka pintu rumah, namun pemuda itu tidak peduli. Langkahnya sedikit
terhenti ketika pintu itu menutup perlahan.
"Aku akan kembali sebelum
malam!"
Dan pintu menutup sempurna setelah
itu. Pintu besar berkayu mahoni yang menghias rumah mewah itu terdiam menatapi
sang majikan pergi melangkah keluar pagar dengan disambut beberapa penjaga
gerbang, sepertinya rumah itu akan kesepian lagi. Entah sejak kapan rumah itu
jadi tempat yang dingin, tidak lagi hangat seperti saat pemuda itu masih duduk
di pundak ayahnya dan tertawa lepas.
Ah, kapan kehangatan itu kembali…
Pemuda itu—Ichigo berjalan cepat
membelah jalan pertokoan yang padat, hanya satu tujuannya; menemukan kembali White
Rose Lady-nya. Ya, ia mempunyai nama lain untuk gadis di toko bunga itu.
Dan dia rasa nama itu sangat cocok untuknya, si gadis mawar putih yang
memberikan kehangatan hanya dengan senyuman manisnya.
Tanpa dia sadari, dirinya sudah
berada di depan toko bunga itu. Seperti biasa, bunyi bel menyambutnya saat ia
masuk ke dalam toko. Bising, tapi cukup membuat Ichigo rindu mendengar bunyi
itu.
"Ah! Selamat datang!"
suara Rukia terdengar dari bagian belakang rak tinggi. Tanpa menunggu Rukia
datang, Ichigo langsung berjalan ke arah rak bagian belakang itu. Dan di sana,
Ichigo melihat Rukia yang sedang memegangi pinggiran rak, mencoba menuju pintu
masuk untuk menyambutnya dengan terburu-buru.
"Rukia,"
Suara maskulin yang terdengar tidak
asing itu mengejutkan Rukia, matanya berusaha mencari-cari sosok itu—walau hal
itu hanya sia-sia. Ia tetap mencari dengan indra perabanya, ia berusaha
menemukannya dengan cepat seakan-akan sosok itu bisa menghilang sewaktu-waktu.
Sosok itu adalah sosok pemuda yang dipikirkannya semalaman, ia begitu
merindukan sosok pemuda lembut itu meskipun mereka baru pertama kali bertemu
kemarin.
"Ichigo? Di mana kau?"
tangan Rukia yang menggapai-gapai membuat Ichigo merasa sesak, diraihnya tangan
mungil itu, dibawa tubuh ramping gadis itu menuju dekapan tubuh tegapnya. Ia
benar-benar merindukan gadis ini, sungguh-sungguh rindu kepadanya. Ia tak sanggup
menahan hasrat kerinduannya lagi. Biarlah gadis ini terkejut atau memberontak,
ia tak mau peduli dengan hal itu. Pemuda itu ingin egois kali ini.
Tanpa disadari Ichigo, Rukia pun
merasakan hal yang sama kepada pemuda itu. Dirinya terhanyut dalam pelukan dan
dekapan Ichigo yang begitu erat, perlahan tangannya menyusuri bahu dan mendarat
pada leher Ichigo. Ia menerimanya, sama sekali tak ada keinginan untuk
memberontak ataupun mencoba lepas. Bening kristal di kedua mata Rukia menetes
kecil di kedua sisi wajahnya, ia merasa sangat bahagia.
Tiba-tiba tangan Ichigo yang sedari
tadi berada di punggung Rukia berpindah menelusuri lekuk tubuh Rukia dari
punggung, bahu, hingga kedua sisi wajahnya. Menyentuh dan menggosok perlahan
kulit putih bersih milik Rukia yang terlihat bercahaya di matanya. Begitu
lembut sampai Rukia memejamkan matanya menikmati sentuhan dari Ichigo. Pemuda
itu mendekat, mencoba menyesapi kerinduannya pada gadis ini.
Andai gadis itu bisa melihat, apakah
ia akan terkejut oleh pemandangan di hadapannya? Atau bahkan menolak?
Sayang sekali, Rukia tak bisa
melihat Ichigo yang sedang memandangnya penuh kerinduan. Tak bisa melihat
Ichigo yang mulai menuntun wajahnya mendekat, tak akan bisa melihat Ichigo yang
sedang mencoba menyentuhkan bibirnya pada bibir Rukia.
Tapi, satu yang membuat gadis itu
tahu semuanya.
Karena Rukia bisa merasakan. Itu
adalah salah satu hal yang sangat disyukurinya saat ini.
.
.
.
Kau tahu, disaat rasa sayang itu
menyebarkan aroma kerinduan, kau tidak akan bisa mengelak. Bahkan menahannya
pun kau tak akan bisa. Tapi, satu hal yang kau bisa lakukan saat bertemu dengan
orang yang kau rindukan; melampiaskan rasa kerinduan itu meskipun itu adalah
hal teregois yang pernah kau lakukan dalam hidupmu.
.
つづく
(Tsuzuku)
.
0 komentar:
Posting Komentar